Makalah Fiqih Muamalah (Kredit dan Ihya Al-Mawat)

 

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

“Kredit dan Ihya Al-Mawat”

Makalah ini diajukan untuk memeuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Dr. H. Jamaludin, M.Ag

Asisten Dosen : Moh Yusuf Saepuloh Jamal, M.Ag

 

Di susun oleh :

Ita Nurwidia

Ade Irawan

 

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM LATIFAH MUBAROKIYYAH (IAILM)

SURYALAYA

2016

 

 

KATA PENGANTAR

 

Assalamuala’aikum Wr.Wb

 

            Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Kesejahteraan dan keselamatan semoga tetap senantiasa dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menuntunkita menuju jalan kebenaran. Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Kredit dan Ihya Al-Mawat” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih .

            Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, mengingat pengalama dan pengetahuan penulis yang masih sangat terbatas, oleh karena itu penulis tidak menutup diri dari segala saran dan kritik dari pembaca untuk menyempurnakan makalh ini.

            Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terimakasih kepada Bapak Moh Yusuf saepuloh Jamal, M.Ag selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih yang telah memberikan tugas ini.

            Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya kepada penulis umumnya untuk semua pembaca.

 

Wasalamau’alikum Wr.Wb

 

 

Suryalaya,

 

Penulis

 

 

 

 

 DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.. 2

DAFTAR ISI. 3

BAB I. 4

PENDAHULUAN.. 4

A.     Latar Belakang Masalah. 4

B.     Rumusan Masalah. 5

C.      Tujuan penulisan. 5

BAB II. 6

PEMBAHASAN.. 6

A.     KREDIT.. 6

1.      Pengertian Kredit. 6

2.      Hukum Kredit. 7

B.     IHYA AL-MAWAT.. 10

1.      Pengertian Ihya Al-Mawat. 10

2.      Dasar Hukum Ihya Al-Mawat. 11

3.      Syarat-Syarat Ihya Al_Mawat. 12

4.      Cara-Cara Ihya Al-Mawat. 14

5.      Harim Ma’mur. 15

BAB III. 17

PENUTUP.. 17

A.     Kesimpulan. 17

B.     Saran. 17

DAFTAR PUSTAKA.. 18

 


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

Allah SWT, telah menjadikan manusia saling membutuhkan satu sama lai, supaya mereka saling tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocom tanam, atau perusahaan yang lain-lainbaik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh.

Bila kita berbicara tentang masalah jual beli atau perdagangan maka tidak bisa lepas dari istilah Riba atau bunga keuntungan. Sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 275. Dalil tersebut merupakan dalil nash yang menjadi dasar dalam masalah muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa islam melarang setiap tindakan pembungaan uang (riba). Akan tetapi jangan menganggap bahwa islam melarang perkreditan , pada sasarnya islam membolehkan perkreditan dalam dunia perdagangan. Apalagi di dalam masyarakat yang menganut sistem perekonomian modern sekarang ini, menuntut ada kredit dan pinjaman. Dibalik itu tentu masing-masing pihak ingin meraih keuntungan. Akan tetapi secara objektif keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan tidak pernah tetap, melainkan senantiasa berubah-ubah setiap waktu.

Menyadari semakin meluasnya aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang dan semakin bertambahnya penduduk dan kebutuhan manusia akan tanah menyebabkan kedudukan tanah yang sangat penting terutama dalam penguasaan, penggunaannya dan kepemilikannya. Khususnya hal ini semakin majunya aktivitas ekonomi, maka banyak tanah yang tersangkut di dalamnya, meluasnya aktivitas itu yang umumnya berupa bertambah banyaknya jual beli, sewa menyewa, pewarisan, pemberian kredit bahkan juga timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum asing.

Berawal dari hal tersebut maka penulis pada kesempatan ini membuat makalah yang berhubungan dengan sistem perkreditan dan Ihya al-Mawatdalam pandangan Islam  yang ada dan berlaku saat ini.    

B.    Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis membahas tentang:

1.      Apa pengertian dari kredit?

2.      Bagaimana hukum kredit dalam Islam?

3.      Apa pengertian dari Ihya al-Mawat?

4.      Bagaimana dasar hukum Ihya al-Mawat?

5.      Apa saja syarat-syarat Ihya al-Mawat?

6.      Bagaimana cara-cara Ihya al-Mawat?

C.    Tujuan penulisan

tujuan penulis membahas Kredit dan Ihya al-Mawat adalah:

1.      Untuk mengetahui apa pengertian dari kredit.

2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum kredit dalam Islam.

3.      Untuk mengetahui apa pengertian dari Ihya al-Mawat.

4.      Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum Ihya al-Mawat.

5.      Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat Ihya al-Mawat.

6.      Buntuk mengetahui bagaimana cara-cara Ihya al-Mawat.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    KREDIT

1.      Pengertian Kredit

Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kemabali dalam jangka waktu yang ditentukan.

Menurut UU No. 10 tahun 1998, menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Jika ia menggunakan jasa kredit maka ia akan dikenakan bunga tagihan.[1]

  Ikatan Akuntan Indonesia (2004:31.4) mendefinisikan kredit sebagai suatu pinjaman uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara kedua belah pihak, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.

  Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dengan perjanjian yang telah dibuat. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak. Demikian pula dengan masalah sangsi apabila peminjam ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat.[2]

Kredit ialah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu jual beli maupun pinjam-meminjam. Misalnya,seseorang membeli mobil ke sebuah dealer dengan uang muka 10% dan sisanya dibayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar satu kali dalam sebulan. Contoh lain, seorang ibu rumah tangga membeli alat-alat rumah tangga kepada seseorang pedagang keliling, biasanya dilakukan atas dasar kepercayaan penuh antara kedua belah pihak , kadang-kadang menggunakan uang muka dan terkadang tidak sama sekali, biasanya pembayaran dilakukan dengan angsuran satu kali dalam seminggu. Kredit bisa pula terjadi pada seseorang yang meminjam uang ke bank atau koperasi, kemudian pinjaman tersebut dibayar berangsur-angsur, ada yang dibayar setiap hari, mingguan dan ada pula yang dibayar satu kali dalam sebulan.

 

2.      Hukum Kredit

Kelompok ulama yang mengharamkan secara mutlak jual beli kredit dengan harga tambahan, diwakili oleh mazhab syiah , yaitu Hadawiyah dari kelompok Zaidiyah serta sebagian ulama yang lain. Mereka beralasan karena ada tambahan harga yang berarti sama dengan haramnya riba. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 275. yang artinya:

“Orang-orang yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti beridirinya orang yang dibantingkan oleh syaitan karena gila. Demikian itu karena mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.

Wajh al-istidlal-al-istidlal-nya ayat di atas menurut mereka adalah keumuman ayat yang menunjukkan atas keharaman tiap-tiap tambahan, kecuali ada dalil lain yang mentakhshis-kannya. Riba dalam pengertian agama adalah tambahan , dan tambahan harga dalam jual beli kredit terhadap harga kontan merupakan tambahan tanpa ‘iwadh dalam akad, maka ini adalah riba.

Munaqasyah al-adillah terhadap ayat diatas, bahwa ayat tersebut tidaklah menghendaki haramnya tiap-tiap tambahan, ini sudah merupakan kesepakatan ulama. Dan dalam hal jual beli pun memang tidak bisa lepas dari tambahan harga itu, bukan berarti riba. Menurut Anwar Iqbal Qurareshi bahwa fakta-fakta yang ada dan objektif menegaskan bahwa Islam memang melarang setiap pembungaan uang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa islam melarang perkreditan, sebab sistem perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit. Hukum keharamannya juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) diantara keduannya atau menjadi riba”. (HR.Abu Dawud)

Rasulullah Saw.,pernah melarang perihal dua penjualan dalam satu akad, sebagiamana hadis dari Abu Hurairah: “Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. ( HR.Tirmudzi)

Wajh al istidlal dari hadis di atas adalah mereka yang mengharamkan jual beli dengan sistem kredit, berdasarkan hadis di atas. Mereka berkata bahwa maksud hadis tersebut adalah penjual berkata kepada si pembeli harga secara kontan sekian dan harga secara kredit sekian (lebih tinggi) , cara yang begini adalah dilarang karena si penjual mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, dan pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit.

Munaqosyah al-adillah terhadap hadis tersebut bahwa jumhur ulama justru membolehkannya berdasarkan keumuman dalil-dalil yang membolehkannya jual beli. Sebab yang dijadikan rujukan utama oleh mereka yang mengharamkannya jual beli kredit ialah riwayat pertama yang disahkan oleh Abu Hurairah. Padahal sudah dimaklumi bahwa dalam sanad riwayat tersebut terdapat seorang perawi yang menjadi pembicaraan ulama hadis. Jadi hadis-hadis bai’atain fi bai’atain yang terkenal itu, tidak dapat dijadikan hujjah.

Andai riwayat Abu Hurairah yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang infirad dapat dijadikan hujjah, tentu maksud dan pengertiannya tidak menjadi ajang perselisihan ulama sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Ibnu Ruslan yang mengecam orang yang beralasan dengan hadis tersebut. Sebab inti hadist di atas melarang dua penjualan atas satu produk, yaitu yang berkata bahwa, kalau kontan dengan harga sekian dan kalau kredit dengan harga sekian. Kecuali, apabila pihak penjual sejak awal sudah mengatakan “dijual secara kredit saja dengan harga sekian”, sekalipun dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga kontan. Padahal orang-orang yang berpegang teguh pada riwayat Abu Hurairah ini melarang jual beli dengan kredit saja. Sementara riwayat di atas tidak bermaksud demikian. Jadi hadist ini dijadikan rujukan untuk menghukum haramnya jual beli dengan kredit, kurang tepat.

As-Syaikh Nashirudin al-Albani, menjelaskan maksud larangan dalam hadist tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: jika kamu membeli dengan kontan, maka harganya sekian dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi). Atas dasar inilah jual beli dengan sistem kredit (yakni ada  perbedaan harga kontan dengan harga cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba. Dalam perkara jual beli kredit ini, Syaikh al-Albani memberikan nasehat: “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jual beli yang seperti telah banyak tersebar dikalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli at-taqsith, dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan tambahan harga kontan, adalah jual beli yang tidak disyariatkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh islam, dimana islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih sayang serta meringankan beban mereka”.

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits di atas, yang antara lain: Imam Turmudzi berkata setelah meriwayatkan hadis Abu Hurairah seperti yang telah dikemukakan, “Hadis ini diamalkan oleh ahli ilmu. Sebagian ahli ilmu telah menjelaskan tentang dua penjualan  dalam satu penjualan, yaitu ketika mereka berkata: Yang dimaksud dua penjualan di atas satu produk ialah seorang penjual mengatakan “saya menjual baju ini kepadamu dengan harga sepuluh ribu secara kontan dan dua puluh ribu secara kredit”. Pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit”. Akan tetapi bila ditentukan tidak mengapa. Imam Syafi’i mengatakan, “saya menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual anakmu dijual kepada saya , maka pasti rumahku dijual kepadamu”. Penjualan semacam ini berbeda jauh dengan jual beli yang tidak ditentukan harganya sehingga dari masing-masing dari pihak penjual dan pembeli tidak tahu pasti akad jual beli mana yang dipilih”.

Ada juga yang menafsirkan bahwa maksud dari hadis tersebut bukanlah mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, seperti yang dipahami oleh orang yang mengharamkannya, melainkan mengenai jual beli ‘inah, yang maksudnya adalah larangan mengumpulkan dua akad dengan maksud lepas dari riba. Seperti seseorang menjual barang dagangannya kepada orang lain dengan harga yang sudah diketahui, diangsur sampai batas waktu tertentu. Kemudian ia membelinya kembali dari pihak pembeli dengan harga yang lebih murah.

 

B.    IHYA AL-MAWAT

1.      Pengertian Ihya Al-Mawat

Ihya al-Mawat merupakan dua lafadz  yang menunjukan satu istilah dalam fiqih dan mempunyai maksud tersendiri, yaitu, ihya yang berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat. Pengertian al- mawat menurut Al-Rafi’i ialah:

الارض اللتى لا ما لك لها ولا ينتفع بها احد

“tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun”.

menurut Syeikh Syihab al-Din Qalyubiwa Umairah dalam kitabnya Qalyubi wa Umairah, bahwa yang dimaksudkan dengan Ihya al-Mawat adalah:

عما رة الارض التى لم تعم

“menyuburkan tanah yang tidak subur”

Dari beberapa definisi diatas, ada beberapa pendapat dari para ualama Fiqih tentan pengertian Ihya al-mawat. Ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan “penggarapan lahan yang belum digarap orang lain, baik lahan itu jauh dari permukimn maupun dekat” . sedangkan Ulama Hanafiyah mendefiniskan Ihya al-Mawat dengan “penggarapan lahan yang belum dimiliki dan dianggap oleh orang lain, karena ketiadaan irigasi serta jauh dari permukiman”.

Perbedaan yang terdapat dalam kedua definisi diatas adalah persoalan letak lahan. Bagi Ulama Hanafiyah lahan yang akan digarap dan tidak dimiliki oleh seseorang itu harus jauh dari permukiman penduduk. Sedangkan Ulama Syafi’iyah tidak membedakan jauh dekatnya, bagi mereka yang menjadi ukuran adalah lahan itu belum menjadi milik seseorang dan belum digarap sama sekali.

Ihya al-Mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang, tandus dan tidak produktif bisa dimanfaatkan dengan baik. Misalnya sebagai lahan pertanian maupun untuk bangunan. Sebidang lahan dikatakan poduktif apabila menghasilkan dan memberi manfaat bagi uma manusia.

2.      Dasar Hukum Ihya Al-Mawat

Hukum membuka tanah baru adalah jaiz (boleh) bagi orang islam, dan sesudah dibuka tanah itu menjadi miliknya.[3] Landasan hukum yang dipakai oleh para Ulama mengenai Ihya al-Mawat adalah Al-Hadits, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi r.a, bahwa Rasulullah SAW,. bersabda:

عَنْ جَا بِرٍ قَا لَ النّبِى صلى الله عليه وسلّم مَنْ اَحْيِا اَرْضًا مَيْتَةً فَهِى لَهُ (رواه التر مذى)

Artinya :

“Dari Zabir, Nabi Saw,. bersabda: “Barang siapa membuka tanah yang baru, maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Tirmidzi)

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’i bahwa Nabi Saw,. bersabda:

مَنْ اَحْيَا اَرْضًا مَيْتَةً فَلَهُ فِيْهَا اَجْرٌ وَمَا اَكَلَتِ اْلعَوَا فِى مَنْهَا فَهُوَلَهُ صَدَ قَةٌ (رواه النساء)

Artinya:

“Barang siapa membuka tanah yang belum dimiliki orang, maka ia mendapatkan ganjaran, dan tanamannya yang dimakan oleh binatang menjadi sedekah”. (HR. Nasa’i)

Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw,. bersabda:

من عمر ار ضا ليست لا حد فهو احق بها

Artinya:

“Barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanah itu”.

Dari hadits ini, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asa Ihya Al-Mawat , sebagian ulama berpendapat bahwa membuka tanah yang baru hukumnya adalah jaiz (boleh), dan sebagian ulama berpendapat sunat.

Adapun tanah yang dibuka itu tanah kepunyaan orang lain maka hukumnya adalah haram, kecuali dengan izin pemiliknya.

Sabda Rasulullah Saw:

مَنْ اَخَذَ شِبْرًا مِنَ اْلاَرْضِ ضُلُمًا فَاِ نَّهُ يُطَوِّ قُهُ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ مِنْ سَبْعٍ اَرْ ضِيَنَ (رواه البخارى ومسلم)

Artinya:

“Barang siapa menggambil menggambil sejengkal tanah dengan jalan dzalim (aniaya) maka sesungguhnya tanah ketujuh lapisannya, nanti pada hari kiamat akan dibebankan kepundaknya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

3.      Syarat-Syarat Ihya Al_Mawat

Para fuqaha sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat Ihya al_Mawat ada 3 yaitu: orang yang menggarap, lahan yang digarap, dan proses penggarapan.

1.      Syarat orang yang menggarap

Menurut Ulama Syafi’iyah orang yang menggarap haruslah seorang muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang islam, sedangkan kaum dzimmi itidak boleh menguasai orang islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kososng, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya.

Menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim, mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kososng.

Kemudian Jumhur Ulama menyatakan bahwa Ihya al_Mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.

2.      Syarat lahan yang akan digarap.

Menurut Ulama Syafi’iyah lahan yang digarap haru sberada diwilayah Islam. Akan tetapi jumhur ulama berbeda pendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada dinegara islam maupun bukan, bukan lahan yang dimiliki muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk menggembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat atau jauh dari perkampungan.  

3.      Syarat proses penggarapan.

Menurut Imam Abu Hanifah penggarapan lahan harus mendapat izin dari pemerintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu. Menurut Ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan permukiman, maka menggarapnya harus mendapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari permukiman maka tidak perlu izin dari pemerintah.

Menurut Ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar Fiqih Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek Ihya al_Mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapat izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta yang yang boleh dimiliki oleh setiap orang.

Menurut Ulama Hanafiyah, lahan itu harus sudah digarap dalam waktu tiga tahun, jika selama tiga tahun itu digarap secara intensif maka pemerintah berhak mengambil lahan itu serta memberikannya kepada orang lain. Pembatasan waktu tiga tahun ini didasarkan kepada pendapat Umar bin Khatab yang menyatakan “orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun diterlantarkan” (diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i), Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah pun tidak berbeda dengan pendapat Ulama Hanafiyah ini.

4.      Cara-Cara Ihya Al-Mawat

Adapun cara-cara menghidupkan lahan yang mati atau dapat juga disebut deng memfungsikan tanah yang disia-siakan ada bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat didaerah tersebut. Pengelolan lahan yang menjadi objek Ihya al-Mawat menurut ulama:

Pertama, menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada didalamnya, mencangkul lahannya untuk pertanian, membuat saluran irigasi, baik dengan menggali sumur maupun dengan mencari sumber air lainya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang menghasilkan, serta memagarnya.

Kedua, Imam Syafi’iyah menyatakan cara untuk mengolah lahan kosong yang tidak dimiliki seseorang dikembalikan pada adat istiadat yang berlaku didaerah itu. Jika lahan itu dimaksudkan untuk tempat tinggal, maka lahan itu perlu dipagar dan membangun rumah diatasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian, maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, baik dengan menggali sumur atau menggambil air dari sungai, dan menanami lahan itu dengan tanaman produktif sesuai dengan kegiatannya.

Ketiga, Ulama Hanabilah menyatakan bahwa Ihya al-Mawat itu cukup dilakukan dengan memagar sekeliling lahan yang ingin digarap, baik untuk lahan pertanian, tempat gembala hewan ternak, maupun untuk perumahan.

Akan tetapi, Ulama fiqih lain menyatakan bahwa Ihya al-Mawat tidak cukup hanya dengan memagar sebidang lahan, tanpa menggarapnya jadi lahan pertanian atau perumahan. Adapun cara Ihya al-Mawat menurut Ulama Fiqih’ adalah sebagai berikut:

a.       Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang, yakni daerah dimana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk orgnik atau non-organik sehingga tanah itu dapat ditanami dan mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.

b.      Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka hsebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang memiliki, baik tanaman untuk makanan pokok atau ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.

c.       Menggarisi atau membuat pagar,hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas,sehingga tidak munggkin  untuk di kuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya ,maka dia hararus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan di kuasai oleh nya.

d.      Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang di kuasainya,dengan maksud supaya orang mengetahuinya bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.

5.      Harim Ma’mur

     Harim ma’mur  artinya sesuatu yang di larang di kuasai oleh seseorng atau apa apa yang di jahati untuk penyempurnaan manfaat yang di usahakan.harim itu ada ada ber macam-macam,yaitu sebagai berikut:

1.       harim kampung,ialah lapangan atau alun-alun tempat rekreasi,pacuankuda,pasar,tempat pemandian,tempat keramaian ,dan lain –lain.

2.      Harim perigi (telaga) yang digali di tanah yang mati(yang baru diusahakan),ialah tempat kubangan ternak,termasuk tanah yang di sekitarnya, seperti tempat penambatan nya atau tempat pancuran air memgalir (comberan ), dan lain-lain

3.      Harim rumah, ialah tempat pembuangan sampah ,tempat pembuangan limbah rumah tangga dan lain-lainnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

B.    Saran

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA



[1] Jamaludi el limbangi, Pengantar Fiqih Muamalah, Latifah Press, hlm. 229

[2] Hendi Suhendi, fiqih Muamalah,

[3]

Comments